Rabu, 07 Juli 2010

Sebuah Dosa (Bag.3)


Setelah selesai mandi, aku terlebih dahulu ke meja makan. Disana ada roti. Aku ambil sepotong lalu aku memakannya sambil berjalan ke kamar. Tapi sebelum aku naik ke lantai atas, ayah memanggilku.

“Mia, ke sini sebentar,” ucapnya.

“Ya, ayah,” ucapku seraya berjalan menuju ruang tengah.

“Katanya hari ini kau akan pergi bersama kakakmu ya?”

“Iya. Apa ayah masih ada di rumah hari ini?”

“Hanya pagi ini. Siang nanti ayah akan kembali take off ke Bandung,”

“Oh, jadi ayah pulang hanya untuk bertemu kakak ya?”

“Tidak juga. Ayah memang sudah lama tidak pulang ‘kan?”

“Ah iya, benar. Boleh aku ke kamar, ayah?”

“Ya,”

Hh.., sampai-sampai ayah sengaja pulang hanya untuk kakak. Kenapa semua orang sangat menyayanginya? Ya, dia memang disayang. Oh iya, ayahku adalah seorang pegawai perusahaan yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar kota dari pada di rumah. Jadi, ayah tidak tahu masalah ini. Tapi sebenarnya ayah adalah seorang ayah yang baik. Ayah bisa menjadi tempat curhat sebenarnya. Hanya, aku saja yang tidak mau membicarakan masalah ini dengan ayah. Dari dulu ayah tidak begitu banyak bicara kalau di rumah, tapi ayah perhatian. Aku tidak tahu seperti apa ayah bekerja di kantor. Dan biasanya kalau sedang bekerja di luar kota atau luar negri, ayah masih bisa menyempatkan diri pulang beberapa bulan sekali.

Sesampai di kamar, aku berpakaian dan merapikan rambut. Sementara menunggu kakak pulang, aku tidur-tiduran di ranjang. Sudah cukup lama aku menunggu, lalu terdengar suara ketukan di pintu kamarku.

“Mia, sudah siap? Kita berangkat yuk!” sahut kakak dari luar pintu.

Aku segera melangkah menuju pintu kamar, membukanya dan meng-iya-kan ucapan kakak, ”Ya, kak.”

Kami pun berangkat. Tapi sebelum itu, kami minta izin dulu. Saat itu, aku tidak berani menatap mata ibu. Aku tidak mau membuat jalan-jalan kali ini menjadi sangat tidak menyengkan karena melihat tatapan tajam ibu saat aku akan pergi berdua dengan kakak. Setelah itu, kami pun baru benar-benar berangkat.

Kakak mengajakku ke plaza. Disana kami melihat-lihat pakaian, sepatu, aksesoris, boneka, dan banyak lainnya. Selama kami melihat-lihat, aku juga menceritakan pengalaman yang membosankan selama aku bersekolah di SMP buangan itu. Tak ada hal yang berkesan bagiku. Tapi, tetap saja kakak menanggapinya dengan senyuman. Hal ini membuatku merasa senang. Walaupun senang yang kurasakan itu belum bisa memusnahkan rasa benciku yang lebih besar.

Setelah kami merasa letih melihat-lihat, kakak mengajakku ke toko es krim. Kami pun makan es krim terlebih dahulu. Aku memilih es krim vanila sedangkan kakak memilih es krim coklat. Terakhir, kami menghabiskan jalan-jalan di plaza itu dengan bermain time zone. Dulu kami memang paling senang bermain di time zone. Kami mendapatkan cukup banyak tiket hadiah. Kami menukarkannya dengan sebuah boneka panda kecil berwarna putih dengan pita coklat di lehernya. Sesaat tadi, aku benar-benar lupa akan kebencianku pada kakak. Kami benar-benar bersenang-senang hari ini.

Waktu sudah menunjukkan jam 15.30 WIB. Kami pun memutuskan untuk pulang. Lama sekali kami berjalan-jalan di plaza. Aku berpikir, kalau hari-hari terus berlanjut seperti ini, aku bisa saja memusnahkan perasaan benciku pada kakak.

Sesampai di rumah, ibu menunggu kami di depan pintu. Hingga beberapa waktu yang lalu, aku masih bisa tertawa. Tapi begitu melihat wajah ibu, perasaanku kembali diselimuti kabut hitam. Aku tidak bisa lagi tersenyum pada kakak. Aku langsung melepas genggaman tangan kakak yang sudah dari tadi terus mengenggam tanganku erat. Lalu aku berjalan cepat menuju kamarku. Di kamar, aku pun terlelap.

***

Tak terasa, pagi pun datang kembali. Aku bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Mandi, berpakaian, sarapan, dan pergi sekolah. Pagi itu, ibu bersikap seperti seorang ibu yang aku damba-dambakan. Tersenyum saat melepasku berangkat ke sekolah. Ya... Tentu saja itu karena ada kakak. Rencananya kakak akan kembali besok pagi. Jadi, hari ini dia masih ada di rumah.

Pagi itu, aku ke sekolah diantar kakak. Sesampai di gerbang, kakak tersenyum padaku sambil berkata, “Semoga hari ini menyenangkan ya.”

Aku hanya bisa mengangguk tanda meng-iya-kan. Lalu aku pun berjalan menuju kelasku yang berada di sudut sekolah dekat rumah penjaga sekolah. Di kelasku, aku tidak punya teman yang berarti seperti sahabat. Itu karena aku tidak begitu mau bersosialisasi di sekolah ini.

Setiba di kelas, aku langsung ke tempat dudukku dan meletakkan tas. Lalu, aku mengeluarkan buku yang selalu kubawa setiap hari. Mungkin sudah puluhan kali aku membacanya. Itu adalah buku yang menceritakan seorang anak yang bisa hidup dengan sesukanya tanpa ada yang mengaturnya. Aku selalu berpikir, andai aku adalah tokoh di dalam buku itu. Pasti aku akan dengan bebasnya melakukan apa yang aku suka. Tidak ada yang dibenci juga tidak ada yang disukai.Tidak diatur-atur juga tidak mengatur-atur.

Bel masuk berbunyi. Tapi masih saja murid-murid di kelasku ini tidak bisa diam. Bahkan saat guru masuk pun masih saja berisik. Sekolah macam apa ini? Hanya tempat meribut saja. Ya, memang mungkin aku bukan murid rajin yang selalu menyimak, tapi setidaknya aku tidak meribut seperti mereka.

Waktu cepat berlalu. Bel pulang sudah menggema di seluruh sekolah. Semua murid langsung berhamburan keluar kelas dan pulang ke rumah mereka masing-masing. Aku pun juga salah satu dari mereka. Salah satu dari banyak anak yang menunggu-nunggu waktu selesainya pelajaran yang membosankan. Pelajaran yang tidak bisa masuk di kepalaku.

Tapi, mereka lebih beruntung dari pada aku. Mereka menunggu-nunggu waktunya pulang karena memang banyak yang ingin mereka lakukan setibanya di rumah. Sedangkan aku. Aku tidak tahu apa yang membuatku selalu menanti-nantikan waktu pulang itu. Baik di sekolah maupun di rumah, aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku lakukan di sana. Aku tidak tahu. Tidak tahu tempat yang seperti apa yang aku inginkan. Semuanya sama saja. Hampa. Aku tak punya tempat dimana-mana. Dimana pun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...