Psikolog? Apa sih yg bisa didapat dari sana? Pekerjaan yg tidak
begitu jelas seperti apa.
Itu kata orang tuaku tadi. “Masuk aja kedokteran,
kebidanan, kesehatan masyarakat, atau ga jadi guru, dll. Di tempat kita ini
psikolog itu bisa dibilang ga dibutuhkan. Guru lebih banyak peluang kerjanya.
Dimana-mana guru itu dibutuhkan.” Iya, aku tahu itu.
“Lalu kenapa ga masuk itu saja? Kedokteran kan juga
bisa. Diantara anak mama yg lain, memang Ichi yg bisa mama harapkan untuk jadi
dokter. Mama rasa Ichi bisa kalau Ichi mau.” Nah, itu dya. Kalau aku mau
kan? Kalau aku-nya ga mau gimana?
“Udah mama coba tanya ke temen, katanya kalau anak
perempuan itu ga usahlah jadi psikolog. Perempuan itu kebanyakan menggunakan
perasaanya sedangkan untuk jadi psikolog itu kita ga boleh terbawa larut dalam
perasaan kita,” Ya, aku juga tw itu.
“Bagus jadi guru saja.
Jadi guru itu sudah diberikan apa-apa saja materi yang akan diajarkan kepada
muridnya. Papa rasa jadi guru itu akan lebih mudah. Pekerjaannya juga dibilang
mudah untuk dicapai di tempat kita ini.”
“Kedokteran juga bisa. Dan
kalau memang Ichi ga yakin bisa tembus kedokteran, ambil saja kebidanan atau ga
kesehatan masyarakat. Pekerjaan itu juga lebih dekat untuk seorang perempuan.”
“Coba kalau psikolog? Untuk bisa jadi psikolog itu
waktunya lama. Harus tamat S2 dulu baru bisa buka praktek psikolog. Trus kapan
mw nikahnya?” He? Pertanyaan apa itu? ==”
.
Itu semua pernyataan dan pertanyaan yang diajukan oleh orang tuaku tadi. Akan
kujawab satu per satu alasanku untuk menyetujui dan tidak setujunya mengenai
semua perkataan orang tuaku itu.
Kenapa aku ga pilih
kedokteran?
Dulu, seperti umumnya anak kecil yang ditanyai mengenai cita-cita, aku juga
berkata ingin jadi dokter. Bahkan sampai kelas 3 SMP dulu, aku juga masih
mencita-citakan itu. Aku berpikir menjadi dokter itu pasti akan menyenangkan,
memakai seragam putih-putih, bekerja di rumah sakit, mengobati pasien, dll.
Lalu aku pun juga berpikir dengan kemampuanku aku pun mungkin bisa mencapainya.
Tapi itu dulu, sebelum aku membenahi pemikiranku.
Sekarang, tiba-tiba saja aku berubah pikiran. Sebenarnya bukan tiba-tiba juga
sih, tapi bertahap juga. Awalnya aku kepikiran soal susahnya
menembus perguruan tinggi dengan jurusan kedokteran. Sekian banyak orang
yang mendaftar, tapi hanya segelintir saja yang akan diterima. Bukannya aku
tidak percaya pada kemampuanku, tetapi aku hanya berpikir realistis. Masih
banyak orang-orang yang lebih hebat dariku dan orang-orang seperti mereka juga
pasti menginginkan jurusan bergengsi seperti kedokteran itu. Dan aku kalah dari
mereka. Sekali lagi aku bukannya tidak percaya pada kemampuanku, aku hanya
berpikir realistis serealistis mungkin.
Lalu alasan selanjutnya kenapa aku mundur dari cita-cita awalku itu yaitu
karena aku menyadari kalau aku ternyata tidak cocok
menjadi dokter. Beberapa waktu yang lalu aku ditugaskan untuk mencari
tahu mengenai penyakit kanker beserta gambar-gambarnya. Dan masyaallah, aku ga
kuat melihat semua gambar-gambar itu! Rasanya mau muntah. Ini sama sekali bukan
hal lebay buatku, tapi ini adalah kenyataannya. Bagaimana mungkin bisa
mengobati penyakit orang lain sedangkan melihat penyakit itu saja aku tidak
bisa. Itu sungguh tidak masuk akal.
Dan alasan terakhir yg mungkin hanya sebagai dalih tambahan yaitunya waktu kuliah kedokteran yang lama dan biaya kuliah yang besar.
Akhirnya dengan semua alasan itu, aku meniadakan kedokteran dalam pilihan
jurusan untuk perguruan tinggiku nanti.
.
Lalu kenapa aku ga pilih
guru?
Pertama dan yang utama sekali, aku tidak tahu nantinya
akan jadi guru apa. Tidak ada bidang pelajaran (terutama IPA, jurusanku
sekarang) yang benar-benar menarik perhatianku.
Mulai dari Fisika. Astaghfirullah ampun dah.. Untuk saat ini aku benar-benar
tidak ada sedikitpun terpikir untuk menjadi seorang guru fisika. Keren sih
keren, tapi mempelajari semua rumus-rumusnya itu juga keren bgt. Sampai-sampai
harus masuk rumah sakit mulu karna stress mikirinnya. Dulu sih pas kelas 3 SMP
sempat kepikiran buat jadi guru fisika karena kebetulan pas waktu itu aku lagi
lope lopenya ama ntu pelajaran. Tapi untuk sekarang ini, maap maap aja deh..
==V
Kedua, Biologi. Tertarik sih ada. Mempelajari makhluk hidup, cara mereka hidup,
bekembang, perilaku-perilaku mereka, dsb. Aku pas membaca buku-buku biologi (yg
ada gambarnya) juga ‘wah wah’ sendiri karena takjubnya. Tapi.. Ada tapinya nih.
Mungkin karena ga super duper tertarik, jadinya pas mau ngapalin semua
nama-nama latin yg bejibun itu, aku ogah bgt dah.. Dan otomatis ya semua yg
udah dibaca tadi cuman tinggal separoh lebih lebih dikit.
Selanjutnya, Kimia. Haii Kimia.. Kenalkan aku Suci Husnia Sadri yang sebenarnya
udah jatuh cinta pada pandangan pertama padamu. Tapi maaf, rasa cinta itu sudah
berkurang sekarang. Alasannya? Karna ternyata pelajarannya ga segampang yg aku
kira dulu. Banyak juga unsur-unsur dkk-nya yang musti dihapalin. Dan tentu saja
itu semua hanya dalihku saja supaya aku ga jadi guru kimia.
Lalu Matematika. Waah, kalo untuk yang satu ini sih aku paroh-paroh hati.
Kadang suka kadang puyeng mikirin ni pelajaran. Apalagi beberapa tahun
belakangan ini guru-guru yang ngajarnya juga seru, jadinya pelajaran gampang
masuk. Tapi ya, ternyata aku ga cukup kreatif buat menyelesaikan semua
soal-soalnya. Dan aku jadi guru mtk? Jangan deh. Ntar bisa-bisa pas aku jadi
guru semua murid jadi ikutan puyeng karna liat gurunya aja puyeng ngeliatin
soalnya. ==a
Dan untuk pelajaran-pelajaran lainnya, rasanya ni cerita ga bakal ada
abis-abisnya ntar kalo aku jelasin semuanya. Intinya sih aku ga tahu bakalan
milih jurusan apa kalo ntar memang mau jadi guru.
Alasanku selanjutnya kenapa ga milih jadi guru yaitu aku
ga mau jadi ‘guru’. Mengerti maksudku? Itu lho, guru yang kerjanya hanya
masuk kelas, nyuruh murid baca buku, ngerjain tugas trus besoknya ulangan. Aku
juga tidak mau jadi guru yang monoton. Kerjanya nerangin pelajaran sampil
melotot dan bicara baku yg bikin murid-murid ngantuk di kelas. Aku juga tidak
ingin jadi guru yang telinganya ntar tiap hari jadi panas karna dengerin
murid-murid bicara yang ga baik soal aku. Sungguh, aku paling ga suka dikatain
begitu. Sebenarnya sih semua alasan-alasan ‘guru’ itu bisa aku hindari dengan
tidak menjadi guru yang seperti itu. Tapi aku merasa aku tidak punya bakat di
bidang itu semua.
Jadi, dengan semua hal yang telah kujabarkan diatas, aku juga meniadakan guru
dalam daftar cita-citaku.
.
Dan pertanyaan terakhir,
kenapa aku milih jadi psikolog?
Awal cerita kenapa aku bisa terpkir untuk jadi psikolog adalah disaat aku
sedang mengalami masalah. Aku benar-benar buntu, tidak tahu harus melakukan
apa. Disaat itu terpikir olehku soal psikolog. Orang yang ahli dalam hal
pemikiran manusia. Memang mungkin orang lain bisa dijadikan tempat untuk
‘curhat’, tapi psikolog itu ada nilai lebihnya. Mereka memang sudah benar-benar
mempelajari itu semua. Mempelajari bagaimana manusia berpikir dan hal-hal
menyangkut ‘pikiran’ dan juga ‘perasaan’ yang menyertainya. Disaat itu, aku
benar-benar klop dengan tujuanku ingin jadi psikolog. Bisa membantu orang lain
dalam menyelesaikan masalahnya.
Psikolog itu ga cocok
untuk perempuan?
Kenapa? Karna perempuan itu kebanyakan menyeratai perasaan dalam mengambil
keputusan? Sehingga terkesan nantinya apa yang akan dilakukan oleh mereka
tidaklah real, melainkan hanya bagian dari luapan emosi semata? Ayolah, tidak
semua perempuan seperti itu. Memangnya tidak ada psikolog yg adalah seorang
perempuan? Bagaimana bisa mereka jadi seorang psikolog dengan ‘perasaan’ mereka
itu? Mereka berhasil mengatasi itu semua. Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak?
Psikolog tidak banyak
berguna di tempat ‘kita’ (Kota Payakumbuh)
Emm, aku akui itu memang benar. Praktek psikolog memang belum ada di
Payakumbuh, tapi bukan berarti tidak akan ada, bukan? Kalau memang belum ada,
nantinya akulah yang akan membuka praktek psikolog pertama di Payakumbuh. Tapi
sedikit mengomentari pertanyaan diatas, seorang psikolog itu tidak harus hanya
membuka praktek psikolog bukan? Seorang psikolog bisa saja bekerja di sebuah
perusahaan atau kantor-kantor setempat. Pikiran mengenai psikolog itu hanya
sebatas membuka praktek itu adalah pikiran yang sangat sempit. Banyak
peluang-peluang lainnya.
Jurusan Psikologi
Nah, tentunya ini adalah jurusan tujuanku nanti. Sebenarnya inilah inti dari
semua pembicaraan ini. Aku ingin masuk jurusan Psikologi. Mempelajari lebih
dalam mengenai ilmu-ilmu kejiwaan manusia. Bagaimana manusia berpikir mengenai
sesuatu, bagaimana manusia memandang lingkungan sekitar mereka, bagaimana
manusia menyelesaikan masalah mereka, bagaimana kepribadian manusia itu
sendiri, apa tipe-tipe pemikiran manusia, apa-apa saja yang mempengaruhi
manusia dalam bertindak. Heii, semua yang aku katakan itu tadi dipelajari dalam
jurusan psikologi bukan? Tidakkah semua itu menarik?
Kalau memang aku tidak bisa jadi psikolog, setidaknya masih (sangat) banyak
pilihan-pilihan lapangan pekerjaan lain yang tersedia untuk tamatan S1
Psikologi. Atau bahkan insyaallah nantinya aku akan bisa tamatan S2 Psikologi
(Aamiin..). Dan dengan begitu lapangan pekerjaan yang bisa aku dapatkan
nantinya akan semakin banyak dan luas. Kalau pun tidak bekerja di Payakumbuh,
aku kan masih bisa bekerja di luar Payakumbuh kan? Mungkin memang orang tua
tidak memperbolehkan bekerja di luar Sumbar, tapi bukankah kota-kota di Sumbar
lainnya juga masih banyak? Bukittinggi dan Padang, misalnya. Benar kan?
Jadi untuk saat ini aku tetap akan mempertahankan keinginanku untuk masuk
Perguruan Tinggi Negeri dengan jurusan Psikologi. Dan sepengetahuanku, PTN yang
menyediakan jurusan psikologi adalah UNPAD, UI, UGM, USU, UNAIR..
Yosh! Semangat Ichi!! Perjalanan hidup masih panjang. Raihlah Impian… ^-^