Kamis, 15 Juli 2010

Ini Seru Atau Konyol Sech??? (Bag.2)

Ini cerpen yg aku bwt untuk tugas akhir semester 1 kls IX kemaren ne....
Kacau bgt...! Jelek... -aku rasa-
Coz bwt'a asal2an aja.. Aku bwt dlm wktu kalau ng' salah... 3 hari....
---------------------------------------------------------------------

“Ye...siapa juga yang mau bunuh diri! Dalam keadaan bagaimanapun, itu adalah pilihan yang nggak akan pernah gue lakukan. Pisau itu untuk motong dedaunan yang cocok untuk dijadikan atap perlindungan kita,” jelasnya.

“Ow, gue kira loe mau is death,” ucap Dicky.

“Ya, kalau pisau sech, gue punya,” ucap Fraza.

Gue juga punya sech. Itu ‘kan wajib ada untuk segala kemungkinan,” Ega juga angkat bicara sambil mengeluarkan pisau yang matanya sangat tajam.

Ok kalau gitu. Kita cari daun yang bisa dijadikan atap. Tapi jangan jauh-jauh dari sini,” Andre mengomandani. Sobat-sobatnya pun mematuhinya.

Mereka semua pun berpencar dan mulai memotong berbagai daun untuk atap perlindungan mereka. Mulai dari yang terkecil, sampai yang terbesar. Langit pun makin lama semakin gelap dan sudah menjatukan tetes demi tetes air pembawa kehidupan bagi alam semesta. Tapi tidak untuk mereka.

Setelah mengumpulkan banyak daun, mereka kembali bersatu di tempat awal. Tapi ada yang aneh disana.

“Eh Diwet, jangan bercanda dech loe. Masa’ daun pinus mau dijadikan atap. Otak loe tercecer dimana?”

“Hah? ‘Kan walaupun kecil, tapi kalau berseribu mereka bisa melindungi juga lho!” elak Dicky.

“Nah, loe ada bawa mereka seribu nggak?”

Nggak sech,”

“Yah, sama aja bo’ong,”

“Tenang, gue bawa daun yang berguna kok. Nech!” ucap Ega sambil memperlihatkan daun yang ia adopsi. Maksudnya, yang ia bawa. Tapi disamping itu, gerimis sudah berevolusi menjadi hutan rintik-rintik. (Sama aja ya?)

“Hmm...lumayan. Daun ini mirip daun kelapa. Dimana loe menemukannya?” tanya Andre.

“Di sebelah sana!” jawabnya sambil menunjuk ke arah..... Apa ya? Pokoknya ke habitat daun itu.

“Kalo begitu, Fraza dan Dicky, kalian mulai saja membuat perlindungan dengan daun yang ada dan ranting-ranting yang memadai. Dekat pohon yang rimbun daunnya saja. Jadi sebelum hujan sampai ke atapnya, bisa difiltrasi dulu oleh daun pohon itu. Sementara gue dan Ega mengambil daun ini lebih banyak lagi. Ok?”

“OK!”

Mulailah mereka bekerja. Fraza dan Dicky mulai membentuk kerangka perlindungan mereka dengan ranting-ranting yang ‘memadai’. Besarnya kira-kira yang bisa mereka tempati berempat plus tas-tas mereka.

Lalu, Andre dan Ega dengan sigap memotong satu-per satu ranting daun majemuk itu. Kebetulan batangnya tidak setinggi pohon kelapa. Tapi, selain tingginya, bentuk pohon itu mirip dengan pohon kelapa. Batangnya tidak bercabang dan akarnya dipastikan juga akar serabut. Yang terpenting, daunnya. Majemuk, panjang dan ramping-ramping.

Setelah banyak, mereka pun membopohnya ke tempat awal. Disana Fraza dan Dicky sudah menanti dengan kerangka tempat perlindungan mereka. Cukup rapi dan menawan (Eh??). Sebenarnya sech, mereka semua adalah anggota pramuka sampai tahun kemarin. Cuma bagi Dicky ada pengecualian. Dia selain cerewet, juga rada tulalit. Contohnya seperti dalam hal daun tadi.

“Wow, ternyata kalian berbakat jadi arsitek juga ya,” ucap Ega.

“Iya dong! Siapa dulu arsiteknya, Dicky!” lagaknya bangga.

“Iya, iya. Loe itu memang paling cocok jadi arsitektur. Arsitektur rumah orang pedalaman!” ejek Andre.

“Sudah, sudah. Hujannya semakin parah nech. Mana sini daunnya!” ucap Fraza.

Lalu mereka pun menyusun lagi daun-daun tambahan itu. Dan untuk alasnya, tetap saja pakai daun, disisakan beberapa. Tak terbayang betapa dinginnya yang mereka rasakan sekarang ini. Sudah dingin, gelap lagi. Tapi, itu sech derita mereka juga.

Beberapa menit setelah perlindungan mereka jadi, hujan sudah menggila-gila. Petir dan kilat pun dengan senangnya menampilkan kehebatannya. Bunyi yang menggelegar dan kilatan cahaya yang menakutkan. Sungguh malang nasip mereka. Siapa sech, yang buat jalan cerita mereka jadi seperti ini? (Eh? Aku ya? Hehe...)

“Woy, ingat pelajaran fisika yang baru diajarkan oleh Bu Mirna nggak?” tanya Ega pada sobat-sobatnya yang sedang kedinginan dan tidak sanggup berpikir itu.

“Yang mana tuch? Nggak bisa mikir lagi. Otak gue udah beku,” ucap Dicky.

“Yang itu lho, kalau petir itu biasanya mengarah ke pohon. Makanya sewaktu kita kecil, selalu dinasehatin ‘sewaktu hujan jangan berlindung di bawah pohon’,” jelas Ega. Kali ini dia tidak belagak. Tapi itu benar-benar kenyataannya.

“Ups, gila! Gue lupa problem yang itu. Yah, sekarang bagaimana dong, kawan? Disini pohon semua,” ucap Andre dengan penuh rasa khawatir.

“Sudahlah, bukankah itu menguntungkan kita. Karna disini banyak pohon, tuan petir pasti akan pilih-pilih sasaran. Walaupun petir adalah benda mati, tapi tetap saja dia masih punya hati nurani. Dia pasti tahu kalau kita adalah orang yang dilanda kesusahan,” celoteh Dicky.

“Dasar Diwet loe, asbul! Mana ada yang begituan. Emang kita ini ada di wonderland-nya Elice apa? Benda mati bisa punya hati. Kalau gitu mah, mana ada orang yang mati kesentrum. Karena kalau menurut versi loe, arus listrik pasti nggak sanggup bunuh orang!” ledek Ega.

“Santai saja dong! Orang gue cuma bercanda. Buat nenang’in diri sendiri, supaya nggak khawatir,” ucap Dicky dengan suara agak meninggi.

“Woy kawan, yang tenang sedikit kenapa? Lihat nech, Fraza. Dia menggigil. Tiba-tiba suhu badannya jadi panas. Gawat! Bagaimana?” bentak Andre.

“Apa?!?” ucap Ega dan Dicky bersamaan. Lalu mereka memegang dahi Fraza. Raut wajah mereka langsung berubah. Mereka semakin khawatir. Apa yang harus mereka lakukan? Berada di tengah hutan pada saat terjadi hujan dan ada cewek diantara mereka yang panas tinggi.

Fraza masih sadar, cuma badannya lemah sekali. Dia hanya bisa bersandar ke pundaknya Andre. Lalu Dicky memberikannya air putih dan segera Ega mencari kalau-kalau ada sapu tangan di dalam tasnya ataupun dalam tas sobat-sobatnya. Dan ternyata di dalam tas Fraza ada sapu tangan. Ia pun membasahinya dengan air hujan dan menidurkannya di dahi Fraza.

“Hei, mungkin saja ada para...,hmm....para....parasemiol. Ah, iya itu. Itu penurun panas ‘kan? Pasti ada di kotak P3K kita ‘kan?” usul Dicky.

“Parasemiol bapak loe! Parasetamol cungkring!” larat Ega.

“Iya, iya. Para itu! Kita beri itu saja untuk obatnya, hmm...mana ya,” ucap Dicky sambil mengobrak-abrik kotak P3K.

“Di kotak P3K gue ada tuch!” seru Andre yang dari tadi tak pernah berhenti memperhatikan Fraza. Dia merasa bertanggung jawab terhadap demam yang dialami Fraza. Soalnya, dialah yang membuat mereka bisa berada di tengah hutan hanya berempat saja. Dia benar-benar merasa bersalah.

“Eh, loe kenapa sech, Ndra? Muka loe seperti baru seselai bunuh orang. Gue nggak apa-apa kok!” ucap Fraza dengan suara lemah.

“Nggak apa-apa apanya? Orang loe sakit gini. Gue ‘kan harus tanggung jawab karena sudah mengajak loe. Kalau sampai loe nggak sembuh-sembuh bagaimana?” sergah Andre.

“Lha,! Masa’ loe do’a-in gue nggak sembuh sech? Gue optimis akan sehat sampai besok pagi tau’!” balas Fraza.

“Iya Ndre. Pasti Fraza juga berusaha supaya bisa sembuh ‘kan? Oya, ini parasetamol buat loe. Biar cepat sembuh,” ucap Ega sembari menyodorkan obat dan air pada Fraza.

“Yap, thanks,”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...