“Terima kasih, Rima,” ucapku.
“Sama-sama. Aku senang bisa membantumu,” ucapnya sambil tersenyum.
“Tapi ngomong-ngomong, tempat ini apa?”
“Seperti yang kau lihat, ini tempat kosong. Jika aku sedang memikirkan sesuatu yang serius, aku selalu datang kesini. Tempat ini bisa kuubah menjadi apa saja dalam pikiranku. Terkadang bisa jadi rumah, jika aku memikirkan persoalan di rumah. Dan terkadang bisa jadi sekolah jika aku memikirkan persoalan sekolah. Jadi, tempat ini adalah teman curhatku. Tapi yang selalu kuherankan, semua orang yang hatinya sedang bimbang, selalu tiba di tempat ini. Begitu juga denganmu,” jelasnya.
“Jadi, berarti kau juga ada masalah? Bagaimana kalau cerita padaku?” usulku.
“Tidak, terima kasih. Pikirkan saja masalahmu dulu, tak perlu memikirkan soal aku,”
“Tapi, kau memikirkan masalahku,”
“Itu karena aku akan selalu menjadi tempat curhat dan pemberi solusi yang baik bagi teman-temanku,” jawabnya.
“Begitu ya?”
“Iya, makanya, jika tidak lagi bimbang, kau pasti akan keluar dari tempat ini. Percayalah pada dirimu sendiri dan jangan bimbang. Itu yang perlu diingat baik-baik,”
“Iya, sekali lagi terima kasih,”
“Oh iya, satu lagi yang perlu kau ingat baik-baik. Seorang ibu tidak akan memperlakukan anaknya sama antara satu dengan yang lainnya. Karena ia akan memperlakukan anaknya sesuai dengan yang dibutuhkan anaknya. Tapi percayalah, tidak ada seorang ibu yang tidak menyayangi anaknya,”
***
Aku kembali berlari. Berlari sambil memikirkan banyak hal. Aku juga mencoba mencerna apa yang dikatakan Rima terakhir tadi, ‘Tapi percayalah, tak ada seorang ibu yang tidak menyayangi anaknya’. Apa maksudnya? Nyatanya aku tidak disayangi oleh ibuku. Bahkan aku mungkin tidak dianggap anak baginya. Ah, tidak-tidak. Aku tidak boleh bimbang. Tujuanku kali ini untuk memastikan semuanya. Iya benar, mengunggapkan apa yang kurasakan dengan baik-baik. Lalu menyelesaikan semuanya.
Aku terus berlari di tempat kosong ini. Sampai akhirnya aku menemukan cahaya. Aku berlari menuju cahaya itu dan keluar dari tempat ini.
Akhirnya, aku keluar dari tempat itu. Hhh..., berarti aku tidak lagi bimbang. Baiklah, aku akan tenangkan diri dan kembali ke rumah. Menyelesaikan semuanya.
Lalu aku pun berjalan sambil memikirkan kata-kata yang bagus untuk mencurahkan isi hatiku yang sebenarnya pada ibu dan juga kakak.
Sampai! Sekarang aku sudah sampai di depan rumahku. Kuberanikan diri untuk masuk. Ya, sekarang aku sudah tiba di halaman, lalu sekarang tepat di depan pintu. Aku memegang gagang pintu, menariknya ke bawah dan.... Eh? Pintunya terkunci. Padahal biasanya tidak pernah dikunci jika ada orang di rumah. Atau jangan-jangan, ibu dan kakak tidak ada di rumah? Tapi kemana?
“Mia?”
Ah, itu Bu Sintia. Tetangga di sebelah rumah.
“Ah iya. Apa Bu Sintia tahu kemana ibu dan kakak pergi?”
“Kau belum tahu ya, Mia? Kakakmu tadi kecelakaan dan sekarang ibumu sedang di rumah sakit,”
Apa? Ka, kakak kecelakaan? Kenapa bisa begini? Ah, sial! Aku, aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Jantungku berdetak dengan sangat cepat. Dadaku terasa sakit sekali. Ada apa ini? Tanpa sadar air mataku menetes di pipi.
“Mia? Mia?”
“Ah iya, bu. Apa Bu Sintia tahu ibu ada di rumah sakit mana?” tanyaku masih tetap mengangis.
“Iya. Di Rumah Sakit Bunda,”
“Terima kasih bu,” ucapku seraya pergi meninggalkan Bu Sintia. Kakak, kenapa? Aku ingin sekali cepat-cepat sampai di rumah sakit. Rumah sakit itu tidak begitu jauh dari rumahku. Aku pergi menaiki angkot. Sesampai di sana, aku langsung bertanya pada perawat.
“Oh, pasien Maya Fitria sekarang ada di ruang UGD,”
“Iya, terima kasih, suster,”
Aku pun segera berlari menuju ruang UGD. Sebenarnya apa yang terjadi pada kakak? Kenapa sampai masuk ruang UGD?
Sesampai disana, aku melihat ibu dan Kak Ana juga seorang lelaki yang tak kukenal duduk di kursi tepat di samping pintu ruang UGD. Lalu ibu yang menyadari kedatanganku melihat ke arahku. Tapi ia diam saja, tak bicara apa-apa. Matanya sembab karena menangis. Sedangkan Kak Ana, ia duduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku memilih duduk di sebelah Kak Ana, karena aku belum berani mengajak ibu bicara sekarang.
Aku menoleh ke arah Kak Ana dan bertanya, “Kenapa bisa kak?”
Kak Ana yang baru menyadari keberadaanku terkejut tapi tetap menjawab pertanyaan yang kulemparkan padanya. “Tidak tahu, Mia. Setelah ia kembali dari rumahku, lalu ibumu menelvonku dan berkata bahwa kakakmu kecelakaan. Ia ditabrak mobil karena melamun sambil berjalan. Ibumu tepat berada di seberang jalan saat ia ditabrak. Tapi ibumu tidak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya apa yang Maya lamunkan saat itu, ya?”
Ah, jangan-jangan kakak kecelakaan gara-gara aku. Gara-gara bentakanku padanya. Aku begitu jahat padanya. Tapi, bukankah ini yang aku harapkan selama ini? Hal yang dirasakan Rima saat kecelakaan orang tuanya persis sama seperti yang sekarang kurasakan. Tapi, aku tidak berharap kakak akan mengalami nasib seperti ayah dan ibu Rima. Aku tidak mau!
Akh...! Aku benar-benar bodoh! Kenapa aku ini? Apa yang telah kulakukan selama ini? Aku telah menyebabkan kakak kecelakaan. Aku penyebabnya.
Air mataku semakin deras mengalir membasahi pipiku. Aku tidak peduli dengan apapun lagi. Sekarang yang kupikirkan hanyalah keselamatan kakak. Ya Tuhanku yang maha pengasih lagi maha penyayang, tolonglah kakakku! Sekarang hanya kepada-Mulah aku bisa berdo’a.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya dokter keluar dari ruangan itu. Seorang laki-laki yang tak kukenal itu langsung bertanya kepada dokter tersebut. Kemudian ia berjalan ke arah ibu dan berkata, “Tante, kata dokter tulang lengan kiri Maya patah dan kakinya mengalami lumpuh sementara. Tapi nyawanya terselamatkan. Dia harus diopname di rumah sakit selama satu bulan sekaligus terapi,” Dia memberitahu ibu dengan suara sedikit bergetar. Sepertinya dia juga syok dengan kecelakaan yang menimpa kakak. Apa jangan-jangan dia adalah teman spesial kakak ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar