Kamis, 08 Juli 2010

Misteri Yang Sudah Lama Terpendam (Bag.3)

Mencari Informasi

Besoknya di sekolah....

“Pagi!”

“Pagi!”

“Eh, liat nggak tadi malam ...............”

“Tentu saja. Bukankah............”

Begitulah suasana pagi hari di sekolahku. Apalagi di kelasku. Ributnya tidak bisa ditoleransi lagi. Ada yang ngegosip, bertengkar, bikin pe-er, dan berbagai kegiatan lainnya. Sesampai di kelas, Yuri langsung menghampiriku.

“ May, nanti siang jadi ‘kan?”

“Kenapa sekarang malah kamu yang antusias banget sich? Padahal kamu ‘kan orangnya cuek banget dengan segala sesuatunya.” ucapku agak sedikit meledek.

“Beda kalau aku sudah tertarik dengan sesuatu. Kalau sudah tertarik dengan sesuatu, aku bisa lakuin apa saja. Tapi bukan dari segi negatif lho!”

“Iya, iya aku tahu.”

Lalu aku berjalan menuju kursiku dan meletakkan tas. Kemudian berjalan ke kerumunan anak-anak perempuan yang lagi ngerumpi. Disana Sarah langsung memanggilku. Dia itu adalah biang gosip di kelasku. Tapi dia pengumpul informasi yang bisa dibilang tepat 85%.

“May, ayo sini. Ada berita terhangat,” ucapnya antusias.

“Apaan?” tanyaku kecus.

“Katanya nanti bakalan terbit buku karangan Stevord Alldian yang baru. Judulnya ‘Mistery yang terpecahkan’. Ceritanya pasti seru! Mau ikut beli sama-sama nggak? Dijamin, kalo ikut denganku akan dapat diskon. Soalnya kakakku terjun langsung dalam penerbitan kali ini. Gimana?”

“Yang bener?” Kyaa, aku langsung bersemangat setelah mendengarnya. Soalnya aku suka banget dengan karya-karya Stevord Alldian itu. Ceritanya seru-seru. Temanya tentang detective. Tapi, harganya juga funtastis banget. Bahkan ada yang mencapai seratus ribuan. Karna harganya yang mahal itu, aku jadi minta uang saku satu bulan dimuka.

“Bener donk! Ikut nggak?”

“Ya..., gimana ya? Setelah pulang sekolah aku ada kegiatan. Tapi aku pengen banget beli... Gimana dong?”

“Kalo gitu aku beliin buat kamu aja sekalian. Uangnya bawa ‘kan? Rp.35.000,- aja. Ntar biar kakakku usahain biar bisa beli segitu. Besok aku bawain bukunya.”

“Boleh. Nih uangnya. Ini uang jajanku satu minggu.” Ucapku sambil mengeluarkan uang saku dari rok seragamku dan memberikannya pada Sarah.

“Ok! Ntar aku beliin dech,”

“Oh iya Sar, kamu ada informasi tentang rumah kuno di jalan Tora nggak? Yang katanya anak pemilik rumah itu bunuh diri,”

“Oh, Anne ‘kan? Aku nggak begitu banyak dapat informasi tentang itu. Soalnya polisi sudah menghentikan kasusnya saat aku mencari tahu informasi itu. Tapi aku dengar dari papa, keluarga itu broken home ya? Emang ada apa dengan rumah itu?”

“Begini...., tapi kita jangan bicara disini ya? Ntar masalah tambah runyam,”

Lalu aku menarik tangannya dan membawanya menjauh dari kerumunan para gadis yang asyik ngerumpi itu. Tapi sebelum aku bercerita padanya, bel keburu berbunyi dan akhirnya kami melanjutkannya sewaktu jam istirahat.

***

Sepulang sekolah....

“Gimana informasi yang kamu dapat dari Sarah? Banyak nggak?” tanya Yuri saat kami jalan pulang bareng.

“Ya... lumayan banyak sich. Kalau akuratnya, Sarah nggak jamin. Katanya 50:50. Katanya kalau nggak butuh sekarang bakal dia cariin informasinya. Tapi memang sich, kita butuh informasi yang akurat. Sekurang-kurangnya 80% dech.”

“Lalu gimana? Masih tetap mau menyelidikinya ‘kan? Bukankah kita menyelidiki buat cari informasi? So, informasi apa aja yang didapatkan dari Sarah?”

“Ini tentang usia anggota rumah itu saat Anne bunuh diri. Ya..., walaupun nggak begitu akurat, mungkin sekitar segitulah. Anne saat itu umurnya sama kayak kita, 12 tahun. Ayahnya 35 tahun. Kalau ini sich mungkin iya, soalnya kita udah liat wajahnya satu tahun setelah kejadian itu. Lalu ibunya 32 tahun, pamannya 34 tahun dan bibinya 33 tahun, seperti dugaanku sebelumnya. Kalau ini benar, awet muda juga bibinya ya? Kemudian pembantu pertama umurnya 40 tahun dan anaknya yaitu pembantu kedua 25 tahun, lalu tukang kebunnya yaitu suami pembantu pertama berumur 43 tahun. Terakhir supirnya, suami pembantu kedua 27 tahun. Mereka juga sekeluarga,”

“Wah, kok dia bisa dapat informasi yang sepertinya hanya bisa didapat jika terjun langsung dalam insiden itu ya?”

“Kata Sarah, insiden itu ditangani oleh pamannya. Jadi dia bisa banyak dapat informasi.”

“Gitu ya?”

Kami pun sudah lama berjalan dan telah sampai di depan rumahku. Sebenarnya, rumah Yuri hanya jarak dua rumah dari rumahku.

“Ya..., kalo gitu nanti jemput aku ke rumah ya, kalo kamu nggak dandan dulu,” kataku sambil membuka pagar.

“Ye..., kamu kali yang dandan. Kalau aku sich, baru bangun tidur aja udah langsung cakep. Apalagi selesei mandi. Cakepnya tingkat tinggi tuh! Jika aku masih dandan lagi, ntar orang-orang nggak bisa menatapku karena saking silaunya,” ucapnya narsis dengan gaya yang membuatku seakan mau muntah.

“Uh, narsisme tuh!!” teriakku. Lalu dia pun berjalan ke arah rumahnya.

Sesampai di rumah aku masuk ke kamar, mandi, pasang baju, nyisir rambut, bedak, lalu....

“Hei, ratu dandan! Udah siap belum dandannya? Pangeran udah nunggu nich!” teriak Yuri dari luar rumah.

“ Iya, iya. Setahuku ya, pangeran itu memang tampan, tapi nggak pernah teriak-teriak manggil tuan putri!” balasku yang juga teriak-teriak. Lalu aku keluar kamar dan minta izin sama mama. Tapi mama banyak tanya sich, kalo aku bilang mau ke rumah kuno itu. Jadi aku sedikit berbohong. Aku bilang aja mau jalan-jalan bareng Yuri.

Saat aku membuka pintu, tiba-tiba saja aku melihat sesosok monyet berdiri di depan pintu. “Eh, monyet dari mana nich? Monyet tetangga lepas ya?”

“Gila! Orang setampan ini dibilang monyet! Mata nenek-nenek itu memang gitu ya? Sory ya nek, aku ngeharapnya yang membuka pintu itu Maya, bukan nenek-nenek,” ucap Yuri balas mengejek.

Aku heran aja. Pakaiannya kayak mau pergi ke suatu tempat yang gimana....gitu. Pakai sepatu kets, celana jeans panjang, atasan baju kemeja garis-garis biru dengan vest putihnya. Pakai topi hitam segala lagi. Kebayang nggak kayak apa tampangnya? Padahal cuma mau ke rumah tertinggal aja.

“Kamu emang gila. Nyatanya orang cuma mau pergi ke rumah tertingal aja, gayanya kayak artis nyasar,”

“Ye..., kamu juga ngaca donk! Pakaian kamu juga tahu. Norak banget! Pakai baju serba putih. Mau jadi hantu ya, di rumah itu? Mulai dari rok putih selutut, t-shirt putih- pink, bandana putih, eh, sepatunya juga putih lagi. Mirip banget ma hantu ‘kan? Tinggal daftar aja di bukit belakang sekolah. Udah memenuhi syarat tuh!”

“Huh! Suka-suka aku donk!”

“Sama!”

Tiba-tiba aja mama membuka pintu dan terlihat pakai baju yang rapi. Mau kemana ya?

“Kalian belum berangkat? Eh, Yuri rapi banget. Mau jalan-jalan kemana sich?” tanya mama. Wah, gawat! Aku belum cerita kalo aku bohong ama mama pada Yuri. Lalu aku lirik ke arah Yuri seakan memberi isyarat buat bersandiwara. Mudah-mudahan dia dapat tempat yang asyik.

“Kami mau pergi ke taman bermain tante,” jawab Yuri cepat. Dia cepet banget mikirnya.

“Oh, kalau gitu selamat bersenang-senang aja ya,”

“Mama mau kemana?” tanyaku.

“Mau ke rumah bu Sintia, ada arisan,”

“Ooh,”

Lalu mama pun berlalu dan kami juga berangkat menuju tempat jalan-jalan kami. Rumah tertinggal.

“Yuri, thx ya udah mau ikut boong ke mama mau pergi jalan-jalan,”

“Santai aja lagi. Kalo nggak boong, kita nggak bakalan bisa pergi ‘kan? Aku mah, udah tahu sifat mama kamu itu kayak gimana,”

“Iya juga ya,”

Setelah lama berjalan, akhirnya kami hampir sampai di rumah penuh mistery itu. Tapi apesnya, saat kami mau berbelok di persimpangan, kami bertemu dengan orang yang sangat tidak ingin aku temui. Yaitu, si cerewet Tingting and her geng. Ya.., setidaknya aku memanggilnya begitu. Dia orang yang paling cerewet yang pernah aku temui.

“Ow, ow, ow! Siapa yang kita liat. Ada cewek sok yang suka deket-deket sama idol kami ya? Ngapain disini?”

“Maaf saja ya, kalau aku disini,” ucapku kecus. Karena Yuri tadi pakai acara beli permen karet, yang katanya sich, buat gaya sok cuek saat bicara sama Mr.Davit dan Mrs.Yulia, jadinya dia kutinggal aja. Dan karena itu pula, mereka jadi santai bicara seperti itu padaku. Karena biasanya jika ada Yuri, mereka nggak bisa bicara apa-apa. Apa Yuri sebegitu kerennya ya? Sampai-sampai, cewek-cewek jadi nggak bisa bicara di depan dia.

“Huh! Jangan sok cuek gitu dech. Asal kamu tahu ya, gayamu itu terlalu norak! Pakai baju serba putih. Kayak mau reunian ama makhluk halus aja,”

“Ye...suka-suka aku donk! Kalian juga, bahkan lebih norak! Pakai baju serba merah. Kayak setan yang mau terjun bebas ke neraka.”

“Apa kamu bilang? Kamu memang tidak tahu fashion ya. Ini adalah cara buat narik perhatian cowok. Merah-merah meriah.”

“Oh, maaf aku lupa. Kalian ‘kan cewek yang nggak menarik. Makanya cara menarik perhatian itu, dengan memakai pakaian yang merusak pandangan mata,” ejekku.

“Gila! Kamu juga ‘kan? Bukankah tidak ada cowok yang menyukaimu?” balas mereka mengejekku. Tapi, peduli amat.

“Sory ya,,, Bagiku itu NGGAK PENTING!” ucapku.

“Alasan!”

“Bukan. Oh iya, kamu tadi bilang aku tidak disukai cowok ya? Lalu, kamu kira Yuri akrab denganku kenapa coba?”

“Karena....” ucapnya sambil mikir.

“Karena aku suka padanya,” tiba-tiba saja Yuri sudah ada dibelakang kami.

“Ah, I,Idol....permisi,” ucapnya gugup dan segera beranjak dari tempatnya tadi.

“Ah, gila! Kalau kamu nggak segera datang, mungkin akan terjadi perang dunia ketiga!”

“Benarkah?”

“Ya, tentu. Aku tidak suka melihat Tingting itu. Dia cerewet sekali. Katanya suka padamu. Tapi, begitu melihatmu, langsung gugup dan kabur. Dasar! Eh, tadi kamu bilang ‘suka’ ya?”

“Tidak usah dipikirkan. Yuk, kita pergi!”

“Iya!”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...