Kamis, 15 Juli 2010

Ini Seru Atau Konyol Sech??? (Bag.3) TAMAT

Ini cerpen yg aku bwt untuk tugas akhir semester 1 kls IX kemaren ne....
Kacau bgt...! Jelek... -aku rasa-
Coz bwt'a asal2an aja.. Aku bwt dlm wktu kalau ng' salah... 3 hari....
-------------------------------------------------------------------------

Fraza pun meminum parasetamol yang disodorkan Ega. Setelah itu, dia mencoba untuk menutup matanya. Eits, jangan salah tebak dulu ya. Maksud menutup mata disini adalah mencoba terlelap, dengan kata lain tidur. Tapi, setelah dia bisa sedikit terlelap (emang bisa ya?), dia dibangunkan lagi oleh makhluk jamadi (benda disekitar kita yang mati) yang membuat tragedi di cerita ini. Apalagi kalau bukan si hujan. Atap pelindung mereka bocor! Wuih, gawat!

Tik tik tik, bunyi hujan yang bocor’in atap

Airnya turun tak malu-malu

Membuat orang sial melulu

Juga membuat, gue jadi naek darah!”

Itulah lagu ciptaan seseorang dengan sedikit perubahan yang dinyanyikan original oleh Diwet bin Dicky di tengah hutan yang suhunya sudah mencapai -500000`C menurut versinya sendiri.

Hujan oh hujan, yang baek hati

Janganlah kau coba, bocor’in atap kami

Kasihani kami, yang malang ini

Hujan oh hujan, bantulah kami,” sambung Ega.

Kali ini, si Ega membedah beberapa lirik lagu ‘Pelangi-Pelangi’ yang sudah susah payah dibuat sebagus mungkin oleh penciptanya.

Satu-satu, tersesat di hutan

Dua-dua, cuaca lagi hujan

Tiga-tiga, kami lagi kewalahan

Satu dua tiga, sambung aja sendiri!”

Andre yang sudah lebih bersemangat juga ikut mengubah beberapa lirik lagi yang sebelumnya sudah dibuat komposernya oleh seseorang (penulis nggak tahu). Maklum saja ya?!?

“Kalian ada-ada saja ya? Tapi, maaf aja, suara kalian bikin gue tambah sakit dan lebih baik kalian memperbaiki atap ini saja. Lebih berguna ‘kan?” saran Fraza yang sepertinya sudah agak sedikit baikan setelah minum obat. Tapi suaranya masih saja lemah gemulai tanda orang sedang sakit. Biasanya sech, seperti orang memberitahukan kebakaran aja setiap dia bicara.

Setelah mendengar ucapan Fraza, mereka berhenti bernyanyi karena menyadari air hujan sudah semakin menyerbu perlindungan mereka. Lalu, Andre secara suka rela memperbaiki susunan tumpukan daun yang dijadikan atap perlindungan mereka. Sebenarnya sech, tidak sepenuhnya suka rela. Cuma merasa bertanggung jawab saja.

Akhirnya masalah atap selesai. Tapi hujan masih saja deras. Mereka pun memutuskan untuk makan apa saja yang mereka bawa (maksudnya makanannya). Setelah perut mereka berisi, satu per satu dari mereka mulai terlelap dan berangkat menuju alam mimpi masing-masing. Ada yang mimpi makan, mimpi berada di rumah, mimpi tidur (eh??) sampai mimpi sedang bermimpi.

Sebenarnya, daun yang mereka jadikan alas duduk mereka sudah penuh air. Tapi bukan air ngompol, melainkan air hujan yang tanpa izin sudah ikut tidur bersama mereka di sana karena percikan hujan lebat yang jatuh ke tanah dan berkunjung ke tempat perlindungan mereka. Mungkin mau berkenalan??

***

Lama mereka terlelap. Malam yang ganas pun telah digantikan oleh pagi yang cerah. Tapi tetap saja, suhu lembap masih menyelimuti hutan. Dedaunan semuanya masih berbajukan air hujan. Sementara Andre dan kawan-kawan berbajukan pakaian yang bau keringat karena belum dicuci dua hari.

Yang pertama bangun diantara mereka adalah Fraza. Padahal tadi malam dia yang paling terakhir terlelap, tapi masih sempat-sempatnya dia yang bangun paling awal. Pagi ini, seperti yang ditekatkannya tadi malam, panasnya sudah turun. Ya, walaupun tubuhnya masih agak lemas.

Tak beberapa lama setelah Fraza bangun, ia disusul oleh Andre. Melihat Andre bangun, Fraza yang masih lemah sempat juga meledakkan tawa yang langsung membuat Dicky dan Ega terbangun.

“Heh, kenapa loe? Apa karena demam, loe jadi kerasukan penghuni hutan ya, Fraz?” tanya Andre dengan santai.

“Iya, gue kerasukan. Kerasukan jin tawa,” jawab Fraza dengan santai juga.

“Ada apa sech?” tanya Ega setelah menguap lebar.

“Iya. Perasaan tadi malam loe demam dech. Kok sekarang malah tertawa seperti nenek sihir gitu?” sambung Dicky.

“Kalian cari tahu aja sendiri,” ucap Fraza sambil melirik ke arah Andre.

Lalu secara bersamaan mereka berdua menoleh ke arah Andre dan tanpa dikomandani, mereka berdua juga langsung kerasukan jin tawa. Fraza yang tawanya sudah agak mereda pun kembali tertawa bersama Dicky dan Ega. Tentu saja hal itu membuat Andre penasaran.

“Hey, kalian semua pada kenapa sech?”

“Eh, tadi malam loe mimpi ke Medan ya, Ndre??” tanya Dicky pada Andre.

“Emang kenapa?”

“Tuh, dipipi loe udah ada Danau Toba! Ha...ha..” sembur Ega.

“Hah?” Andre yang baru menyadari ternyata ada bekas iler di pipinya, mukanya langsung berubah merah padam dan tangannya dengan segera berusaha meng-hilangkan bekas iler itu. Tapi, tetap saja mereka bertiga masih terus tertawa.

“Sudah-sudah! Kalian tega banget meledakkan bom tawa segede gitu ke gue. Kaya’ kalian nggak pernah ileran aja,” sergah Andre.

“Heh, ternyata loe tuh tukang iler ya? Kenapa gue baru tahu sekarang ya? Padahal kita ‘kan tetanggaan, Ndre,” ucap Ega.

Setelah kata-kata Ega, mereka bertiga tertawa kembali. Heran juga. Ternyata iler itu bisa terkenal dalam sekejap ya?

Akhirnya setelah beberapa menit, barulah tawa mereka berhenti. Dan selama itu pula, Andre merasa sangat-sangat malu. Hal yang ia tutupi selama ini terbongkar juga. Tapi, siapa suruh bangun telat. Kalau dia bangunnya lebih awal dari Fraza, pastilah dia masih merasa jadi pemimpin sekarang.

“Oh iya. Kalau tidak salah, hari ini rombongan perkemahan sekolah akan kembali ‘kan?” tanya Fraza.

“Iya, benar. Sepertinya kita tetap harus mencari mereka. Soalnya kalau sampai mereka sudah kembali dan kita masih ada disini, kita bukan berpetualang namanya, tapi cari mati!” ucap Ega

“Yap tepat sekali. Sudah cukup satu malam saja kita mendapat pengalaman baru. Tadi malam itu kita hanya beruntung saja. Pertama, beruntung tidak kelaparan. Kedua, beruntung tidak kehujanan. Tiga, beruntung karena tidak gosong disambar petir. Keempat, beruntung karena tidak dimakan binatang buas. Dan terakhir, beruntung karena kita masih hidup sampai sekarang,” celoteh Dicky panjang lebar.

“Ehm!! Ya sudah, kita berangkat sekarang. Tapi, berangkat kemana ya?” ucap Andre kembali sok jadi pemimpin dan pura-pura melupakan insiden iler tadi.

“Udah dech iler, kali ini biar Fraza yang menentukan ke arah mana kita akan pergi,” ejek Dicky.

“Eh? Kok gue?” protes Fraza.

“Iya. Karena biasanya firasat perempuan itu lebih peka. Itu kata ibu gue,” ucap Dicky.

“Benar-benar. Jadi kita akan pergi ke arah mana buk firasat?” tanya Ega.

“Hm... kemana ya? Aha! Pakai kayu saja,” saran Fraza seraya mengambil sebuah kayu.

“Kayu?” ucap para cowok bersamaan.

“Yah, sebenarnya ini sech untung-untungan saja. Tapi boleh dicoba juga. Mudah-mudahan saja kita masih dilimpahkan keberuntungan oleh Yang Maha Kuasa,”

“Amiiiin...........!!!”

Lalu Fraza pun mempraktekkan cara yang untung-untungan itu. Diletakkannya salah satu ujung kayu di atas tanah sedangkan ujung lainnya ia pegang. Kemudian dilepaskannya ujung kayu tersebut kemudian ujung itu akan terjatuh dan mengarah ke suatu arah tentunya. Terakhir, ikuti saja arah kemana ujung kayu tersebut menunjuk. Begitulah cara kerjanya. (Jangan tiru adegan ini! Berbahaya!)

Karena tidak ada jalan lain yang lebih pasti, mereka terus berjalan mengikuti arah kayu tersebut. Selama mereka berjalan, mulut mereka selalu komat-kamit karena berharap mereka akan beretemu letak perkemahan.

Ada dua yang di pertaruhkan disini. Harga diri dan nyawa. Harga diri sebagai petualang yang selalu berhasil dan nyawa karena tidak akan ada lagi orang yang akan membawa mereka kembali pulang.

Sudah lama mereka berjalan, belum juga di temukan letak perkemahan. Mereka sudah hampir putus asa. Tapi ternyata, Tuhan masih menyayangi mereka. Mereka mendengar suara berisik dari arah jam satu sekitar 30 m dari jarak mereka berada sekarang. Mulut mereka semakin komat-kamit. Berharap kali ini mereka benar-benar tertolong.

Tinggal lima meter lagi, tiga meter, satu meter dan.....

“Huh! Belum juga mereka kembali hah? Membuat orang jantungan saja. Kemana sich mereka? Katanya tak usah kuatir. Tapi lihat sekarang, kita sudah mau pulang tapi mereka belum balik-balik juga. Apa yang harus aku katakan pada orang tua mereka,” celoteh Bu Sintia sambil jalan mondar-mandir.

“Bu Sintia,” ucap salah satu anak. Tapi ia tidak menghiraukannya. Terus saja berceloteh.

“Mereka kemana? Kalau mereka sampai hilang, dimana letak mukaku di depan orang tua mereka nantinya. Malahan salah satu dari orang tua mereka adalah teman SMA-ku dulu. Bagaimana ini?”

“Bu! Bu Sintia,” ucap beberapa anak.

“Apa lagi? Kalian baru boleh memanggilku jika sudah menemukan mereka,”

“Tapi bu, mereka itu...,” ucap mereka lagi sambil menunjuk ke arah Andre dan teman-temannya berdiri. Kemudian Bu Sintia langsung menoleh dan disana ada..

“Kalian!” serunya sambil memeluk murid-muridnya yang tukang buat ulah itu.

“Ibu?” ucap Fraza.

Sentak ia tersadar dan melepaskan pelukannya itu dan berkata, “Ehm... Kalian benar-benar tukang buat ulah!”

Semua murid memandang ke arah Bu Sintia dengan tatapan seakan berkata “ Huh, bermuka dua! Padahal tadi cemas setengah mati!”

Bu Sintia yang menyadari tatapan itu melanjutkan ucapannya, “Tapi syukurlah kalian kembali tepat waktu,”

Sedangkan Andre dan sobat-sobatnya juga berucap di dalam hati, “Syukurlah kami datang tepat waktu. Terima kasih Tuhan. Engkau memang Sang Penyelamat!”

--------------------------------------END---------------------------------------

Hwa~ Akhirnya kacau bgt yah?? Gomen... (_ _)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...