Rabu, 07 Juli 2010

Sebuah Dosa (Bag.2)


Setelah itu, aku pun dibiarkannya bebas, kembali ke rumahku. Aku benar-benar tidak percaya. Baru saja aku merasakan perasaan senang. Perasaan senang karna kakak. Perasaan itu tak seharusnya ada lagi. Aku membencinya. Dia adalah orang yang membuat aku dibanding-bandingkan oleh ibu.

***

Sekarang jam menunjukkan pukul tujuh malam. Biasanya waktu ini adalah jam makan malam. Tapi aku malas sekali keluar. Dan tak mungkin pula aku dipanggil. Jadi biarlah. Aku mau tidur. Tapi, itu tidak bisa. Lagi-lagi suara itu memanggilku. Dan lagi-lagi aku tidak bisa menghindarinya. Suara itu bagai magnet dan akulah logam yang ditariknya.

“Mia, waktunya makan malam. Ayo! Kalau kamu sakit, kita tidak bisa pergi besok. Masakan yang dibuat ibu enak-enak lho!”

“Iya kak,” jawabku.

“Baiklah. Kakak tunggu di bawah ya?”

“Iya,”

Begitulah. Aku pun turun ke lantai satu dan makam malam ‘bersama keluarga’. Suasana tenang. Tak ada yang bicara sewaktu makan. Setelah makan pun, semua juga masih diam. Hingga akhirnya kakak angkat bicara.

“Makanan buatan ibu masih tetap enak ya?” ucapnya.

“Ya, spesial untukmu,” jawab ibu.

“Bagaimana menurutmu Mia? Enak ‘kan?” tanya kakak padaku.

Aku hanya bisa mengangguk. Padahal, semua makanan yang kumakan saat itu terasa hambar. Lidahku serasa tak berfungsi lagi untuk mengecap. Aku seperti di penjara. Dipaksa meng-iya-kan semuanya. Benar-benar seperti budak.

Makan malam itu selesai dengan anggukanku. Papa kembali ke tempat biasa ia berada setiap malam jika ia ada di rumah. Yaitu di ruang kerjanya. Lalu kakak, ia kembali menjadi anak baik dan membantu ibu mencuci piring. Sedangkan aku, seperti mayat hidup, melangkah dengan gontai ke lantai atas, ke kamarku, rumahku.

Sesampai di atas, kubuka pintu duniaku, lalu kututup kembali. Supaya tidak seorang pun bisa masuk ke dalamya. Tempat ini hanya boleh dimasuki oleh diriku sendiri saja. Tidak orang lain.

Malam Minggu. Malam dimana para remaja pergi jalan-jalan dengan teman spesialnya. Malam dimana sebuah keluarga berkumpul di ruang tengah, menonton TV bersama dan tertawa bersama. Tapi, itu bukanlah duniaku. Sama sekali bukan. Padahal dulu, kami dengan senangnya melakukan rutinitas itu tiap malam. Berkumpul di ruang tengah dan menonton acara kesukaan kami tiap minggu. Lalu tertawa melihat tingkah kocak para pemain di acara tersebut. Itu dulu. Sekarang, tidak akan ada lagi hal itu. Mustahil akan ada.

Tak terasa, sudah banyak sekali hal yang kulamunkan. Malam kian larut. Kubuka jendela agar sedikit bisa menghirup udara malam. Malam yang indah. Langit dibanjiri oleh kerlap-kerlip bintang nan mempesona. Bulan, dengan ramahnya membagi kebahagiaannya pada setiap orang. Tapi dia melupakan seseorang. Yaitu aku. Tak sedikit pun dari kebahagiannya itu ia kirimkan padaku. Di rumah ini, kebahagiaan itu sudah diserap semua oleh kakak. Mangnetnya itu tidak hanya bereaksi padaku, tapi juga pada sang rembulan.

Kuhentikan lamunanku pada malam itu. Kututup lagi pintu kebebasan, sekarang kembali aku ke duniaku. Dunia yang hanya dihuni olehku dan semua benda-benda yang selalu menemaniku. Dunia yang hanya selebar 4 m x 3 m. Dunia yang sunyi. Tak ada tanda-tanda kehidupan disini. Hampa dan sedikit pun tak ada keceriaan.

Di sudut dekat pintu, ada sebuah rak yang diisi dengan buku-buku. Buku-buku yang dulu dibelikan oleh kakak. Rak yang tak hidup. Terbuat dari kayu dan warna catnya sudah pudar. Di sebelahnya, berdirilah satu-satunya benda yang berharga di atas singgasananya setinggi satu meter. Sebuah tropi yang kuperoleh saat masih kanak-kanak, itu pun bersama kakak. Kami memenangkan lomba membuat istana dari barang bekas. Tapi lebih tepatnya itu hasil karya kakak. Karena aku cuma membantu sedikit. Tapi, tropi itu diserahkan kakak padaku. Dia baik bukan? Tapi aku membencinya.

Lalu, disudut yang berseberangan dengan pintu, disanalah tempatku beristirahat, di ranjang pilihan kakakku. Berwarna coklat elegan, tapi tidak tampak begitu di mataku. Disebelahnya, ada sebuah jendela yang menghubungkanku dengan dunia luar. Tempatku memandangi langit di malam hari dan tempatku melihat kesibukan orang di pagi hari.

Kemudian di salah satu sisi, ada sebuah cermin berukuran 60 cm x 40 cm. Benda yang tidak sering kutatap. Karena jika melihatnya, hanya terlihat seorang anak perempuan berumur 12 tahun yang hatinya dipenuhi rasa dendam dan kebencian. Yang wajahnya sudah seperti mayat hidup. Tubuhnya kurus seperti orang cacingan dan kulitnya pucat.

Di sampingnya, ada sebuah lemari dengan dua pintu. Di dalamnya ada semua pakaian yang kupakai sehari-hari. Mulai dari seragam hingga baju yang dipakai untuk bepergian. Terakhir di seberangnya, sebuah meja belajar telah menungguku agar segera belajar bersamanya. Tapi otakku kosong. Tak berisi apa-apa. Apa yang harus kupelajari? Semua rumus-rumus itu tidak akan bisa masuk di pikiranku yang penuh dengan kebencian. Padahal di sekolah, dari dulu sampai sekarang, tak ada seorang pun guru yang mengajarkan rasa benci pada murid-muridnya. Lantas dari mana rasa benci ini berasal? Dari mana aku mempelajarinya? Siapa yang bisa memusnahkannya dari diriku?

Yah, akhirnya setelah memikirkan berbagai kejadian, aku merebahkan diri di ranjang. Aku pun terlelap. Terlelap dengan mimpi yang kosong. Hanya bisa terlelap, menunggu hari esok yang siapa pun tak akan tahu seperti apa jadinya dan kejadian apa yang akan terjadi pada kita nantinya.

***

Lama kuterlelap. Akhirnya pagi pun datang mengambil alih malam. Embun telah siap untuk kembali dicairkan oleh sang mentari. Burung-burung berkicau merdu dan ayam-ayam berkokok dengan senangnya. Tapi hatiku tidak mendukung cerahnya hari ini. Hatiku mendung. Aku sangat malas hari ini. Malas bangun, malas bergerak dan sangat malas bepergian. Tapi, aku sedah berjanji pada kakak. Aku benar-benar tidak tahu akan bagaimana jadinya hari ini.

Meski malas, aku tetap berusaha bangun, keluar kamar dan pergi ke kamar mandi. Di lantai bawah, ayah sedang menonton berita pagi sambil minun teh. Tapi, aku tidak melihat ibu dan kakak. Mungkin mereka sedang pergi ke rumah tetangga. Lalu aku melangkah menuju kamar mandi dan mandi dengan malasnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...