Rabu, 07 Juli 2010

Sebuah Dosa (Bag.4)


Sambil memikirkan semua itu, akhirnya aku sampai di tempat perbatasan sekolah dengan tempat lain yang sama saja tak berarti. Aku sampai di gerbang. Memperhatikan anak-anak lain yang tersenyum melihat orang tua mereka datang menjemput. Sungguh beruntung mereka. Sedangkan aku. Aku hanya bisa mematung. Hanya bisa berharap ada seseorang yang tersenyum dan berkata padaku...,

“Ayo kita pulang,”

Ah, itu kakak. Dia benar-benar mengucapkan kata yang ada di pikiranku saat ini. Dia orang yang datang menjemputku sambil tersenyum ramah, seraya menyapa orang tua lainnya yang juga menjemput anak yang mereka cintai.

“Kakak?” ucapku.

“Ya, ini aku. Ayo kita pulang,” balasnya lalu menggenggam tanganku. Tangan yang hangat. Aku merasa damai saat ia menggenggam tanganku. Kalau hari-hari terus berlanjut seperti ini, aku yakin perasaan benci ini sedikit demi sedikit akan menghilang.

“Bagaimana harimu di sekolah tadi?”

“Biasa saja kak, tak ada yang istimewa. Sama saja seperti biasanya. Saat bel masuk berbunyi, guru masuk ke kelas. Dan saat bel pulang berbunyi, semua murid berhamburan keluar kelas,” jawabku.

Kakak tersenyum, lalu ia berkata, “ Haha... kau ini. Jangan selalu mengganggap semua itu biasa saja. Setiap hari kita pasti melalui kejadian yang berbeda. Walaupun apa yang kau katakan itu memang benar, tapi pasti ada kejadian yang berbeda ‘kan?”

“Ah, itu...,”

“Tidak apa-apa, kalau kau tak bisa menjawabnya. Tak usah terlalu dipikirkan. Oh iya, mungkin setelah kita tiba di rumah nanti, kakak akan pergi sebentar. Jadi, mungkin kakak tidak bisa menemanimu di rumah hari ini. Tidak apa-apa ‘kan, Mia?”

“Ya, tidak masalah kak. Tapi, kakak mau pergi kemana?”

“Kakak mau pergi ke rumah teman kakak. Kak Ana, kau tahu ‘kan?”

“Ya, tentu. Dia sering datang ke rumah ‘kan?’

“Benar,”

***

Sekarang jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Kakak sudah satu jam pergi ke rumah Kak Ana. Sekarang aku sedang bermalas-malasan saja di tempat tidur. Tidak tahu apa yang mau dikerjakan.

“Mia!”

Itu suara ibu. Ada apa lagi kali ini. Pasti akan dimarahi lagi. Padahal aku tidak melakukan apa-apa. Andai saja kakak tahu kalau ibu selalu memperlakukanku seperti ini, apa yang akan dilakukannya?

Aku pun turun ke lantai bawah. Aku sudah tahu apa yang akan dikatakan ibu. Pasti tak jauh-jauh dari nilaiku atau sejenisnya. Lalu setelah itu, ia akan mengungkit-ungkit nilai kakak saat seumuran denganku. Selalu saja kakak. Ternyata, aku tidak akan pernah bisa menghilangkan kebencian ini selama ibu selalu memperlakukanku seperti ini.

Sesampai di tempat ibu, aku bekata dengan nada rendah,” Ya, ada apa bu?”

“Ada apa katamu? Apa yang kau lakukan di kamar itu hah? Pasti malas-malasan lagi. Apa kau tahu berapa nilaimu saat ini? Kau harus belajar dengan benar! Jangan tidur saja kerjamu,” Tuh ‘kan benar. Sebentar lagi ibu pasti akan mulai membanding-bandingkanku dengan kakak.

“Lihat kakakmu! Saat dia seumurmu, dia selalu giat belajar. Masuk di SMP yang terkenal dengan pendidikannya. Dan disana pun dia bisa mendapatkan peringkat pertama. Tapi kau, masuk ke SMP yang bagus pun tidak bisa. Belajarlah sedikit dari kakakmu!” bentak ibu.

Mendengar perkataan ibu itu, aku langsung berlari keluar rumah dan menghempaskan pintu. Lalu berlari sekencang-kencangnya. Aku tidak tahu lagi sekarang. Kemana aku akan pergi? Aku tidak tahu. Ini semua gara-gara kakak! Aku selalu dibanding-bandingkan dengannya. Tapi, aku tidak bisa melawan padanya. Aku tidak bisa membentak ibu. Aku tidak bisa bicara keras padanya untuk mengucapkan kata ‘Jangan banding-bandingkan aku dengan kakak’. Aku tidak bisa melakukan itu.

Di tengah jalan, aku melihat kakak. Lalu dia menyapaku, “Mia, kau mau pergi kemana? Terburu-buru sekali.”

Dia tidak tahu kalau semua ini gara-gara dia! Aku sudah tidak tahan lagi. Sekarang orangnya ada di depanku. Aku tidak bisa lagi menahan emosi ini.

“Aku sudah tidak tahan lagi. Aku tidak bisa terus memendamnya sendiri. Kakak terlalu baik! Aku benci! Bisa dengan senangnya tertawa, padahal tidak tahu apa yang aku rasakan selama ini! Aku kesal! Kakak terlalu sempurna. Jauh sekali denganku. Asal kakak tahu saja, bagi ibu kakak sudah segala-galanya! Tidak butuh aku! Di belakang kakak, ibu selalu memarahiku. Membanding-bandingkan aku dengan kakak! Apa kakak tahu? Betapa sakit hati ini, kak! Apa kakak tahu itu? Karena kakak, aku jadi dibanding-bandingkan! Karena kakak terlalu sempurna, maka aku jadi pecundang. Kakak harus tahu apa yang aku rasakan sebenarnya disini! Di dada ini! Aku membenci kakak! Lebih baik kakak tidak ada!”

Aku melihatnya. Wajah kakak saat itu. Terkejut. Wajahnya pucat. Tubuhnya jadi lemas. Lalu dia mencoba mengatakan sesuatu padaku.

“Mia, aku....”

Tapi aku tidak mendengarkan. Aku langsung lari, tak kuat melihat ekspresinya itu. Tapi, ada apa ini? Padahal aku sudah mengatakan semuanya. Tapi ada perasaan aneh yang muncul dan tidak diketahui namanya. Asing.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...