Rabu, 07 Juli 2010

Sebuah Dosa (Bag.1)


Dosa ini bermula pada saat itu. Ketika kakakku lulus masuk di Universitas Kedokteran yang terkenal. Sedangkan aku, hanya bisa masuk di SMP yang tidak terkenal dan bisa dibilang SMP buangan. SMP yang menerima siapa saja. Bahkan sepuluh kali pun seseorang tinggal kelas, disana ia masih bisa diterima. Karena hal itu, ibuku selalu membanding-bandingkan aku dengan kakakku. Aku di matanya hanyalah seorang anak yang tidak sengaja berada di perutnya dan dilahirkannya tanpa ada gunanya. Selalu saja ia bicara dengan rasa benci. Aku hanya seseorang yang menumpang tinggal di rumahnya tanpa adanya kasih sayang. Dia sudah punya kakak yang segala-galanya baginya. Dia cantik, baik hati dan jenius. Kakak sudah sangat-sangat sempurna di matanya. Tak perlu aku yang menyusahkan ini.

Kakak. Padahal dulu aku begitu menyukainya. Dulu, bagiku dia adalah sosok kakak yang baik dan kakak yang paling sempurna di dunia ini. Tapi sekarang berbeda. Aku sudah begitu membencinya. Padahal, kakak selalu baik padaku, selalu melakukan apa yang aku mau, membelikan semua yang aku inginkan. Aku sungguh adik yang durhaka. Aku sekarang begitu dendam padanya. Padahal dia selalu baik padaku. Tapi aku dendam. Dendam karena dia lebih disayang. Karena dia sempurna. Bisa melakukan apa saja.

Sungguh mengherankan. Aku membenci orang yang begitu menyayangiku. Aku membenci satu-satunya orang yang mengganggapku berarti. Sungguh bodoh. Seharusnya pada kejadian ini, yang lebih cocok kujadikan sasaran kebencianku adalah ibu. Ibu yang selalu menatap muak padaku. Mengeluarkan kata-kata kasar dari mulutnya. Ya, ibulah yang seharusnya kubenci. Tapi, kenapa disini yang terjadi malah sebaliknya? Kakak yang hanya tahu aku adalah adiknya dan adiknya ini juga dicintai oleh ibunya. Padahal dia tidak tahu, dibelakangnya ibu selalu memarahiku. Menjadikanku seperti orang yang kejam, biang masalah.

Sudah kucoba untuk mengingat-ingat apa yang telah kulalui bersama kakak. Begitu damai dan tanpa ada kebencian. Bermain di halaman, dan di tempat duduk kosong, ibu selalu tertawa melihat kami yang bermain dengan senangnya. Tapi, semakin aku mengingat-ingat kenangan yang indah itu, sosok kakak yang sempurna itu, semakin dalam rasa kebencianku padanya. Kenangan indah itu hanyalah seperti mimpi belaka. Sesuatu yang tak mungkin ada. Tertawa bersama dan bermain bersama. Kalimat itu sudah asing sekarang.

Kakak. Kenapa di dunia ini harus ada yang kupanggil kakak? Lebih baik dia tidak pernah ada di dunia ini. Biar aku saja yang jadi perhatian ibu. Tidak dibanging-bandingkan dengan kakak. Tidak dianggap pengganggu lagi. Tidak ada lagi anak yang menumpang tinggal dan harus diberi makan. Yang ada hanyalah anak satu-satunya yang disayangi dan diberi perhatian layaknya anak lainnya. Lebih baik dia menghilang!

***

Dan sekarang, hari ini. Hari yang tidak pernah kuharapkan akan datang. Hari ini, kakak pulang setelah satu bulan ia berkuliah di Universitas yang terkenal itu. Ibu dan ayah dengan senang menyambut kedatangannya. Menyiapkan makanan kesukaanya. Dan siap mendengarkan pengalamannya.

Sore itu, semuanya berkumpul di ruang tengah. Dengan senang kakak bercerita tentang pengalamannya selama berkuliah di Universitas yang terkenal itu. Bercerita tentang teman-teman barunya, dosen-dosen yang mengajarinya dan juga tentang teman spesialnya. Ibu pun dengan wajah berseri mendengarkan kata demi kata yang diucapkan kakak. Ayah dengan secangkir kopinnya juga ikut tersenyum melihat anak sempurnanya kini sudah dewasa. Sedangkan aku, dengan duduk ala anak baik, juga mendengarkan. Pengalaman yang dialaminya sungguh menyenangkan. Bahkan didalam mimpi pun, aku tak pernah membayangkan akan bisa punya pengalaman seperti itu.

Setelah lama kakak bercerita, datanglah saat dimana aku serasa berada di sarang harimau. Serasa mau mati. Kakak, ia menoleh padaku. Dan sosok perempuan cantik dengan otak jenius itu, melontarkan pertanyaan yang aku harap tidak pernah keluar dari mulutnya. Apalagi pertanyaan itu harus aku jawab di depan ibu. Aku sungguh-sungguh tidak tahu bagaimana caranya aku harus menjawabnya.

“Nah, sekarang kakak ingin mendengar pengalamanmu di sekolah yang baru. Ayo, ceritakanlah,” ucapnya dengan suara lembut. Ah, kata-kata itu bagaikan kutukan. Kutukan yang bisa langsung membuatku mati seketika. Ayolah, siapa pun tolong aku!

“Sudahlah Maya. Ibu yakin adikmu, Mia pasti juga mengalami pengalaman menyenangkan sepertimu. Lebih baik lanjutkan saja ceritamu,” Itu yang diucapkan ibu untuk membuatku benar-benar tidak diperlukan pada perbincangan ini.

Cerita kakak berlanjut . Dan aku pun kembali menjadi patung yang diletakkan di sudut ruangan. Hanya bisa menyaksikan, tapi tidak bisa ikut serta. Ada, tapi ditiadakan. Sesekali kakak menoleh padaku dan tersenym. Sepertinya ia benar-benar ingin aku menceritakan pengalamanku padanya. Tapi, ibu dengan pandainya membawa kakak kembali dalam kuasanya.

Akhirnya, perbincangan itu selesai. Benar-benar. Aku ada disana, tapi dibiarkan diam mematung. Tidak diperlukan. Aku duduk disana hanya untuk menjadikan perbincangan itu sebagai perbincangan keluarga. Hanya untuk pelengkap, tapi tidak untuk melengkapi. Hanya untuk mengisi kursi kosong. Ingin segera aku berlari sekejap dan kembali ke duniaku. Yaitu kamar yang selalu menjadi rumahku. Karena rumah yang sesungguhnya, adalah tempat asing dimana aku tidak dianggap ada sama sekali.

Itu dia! Hanya tinggal beberapa langkah saja, aku bisa menghilang dari tempat asing itu dan tiba di rumahku. Tapi, suara itu menghentikanku. Membuat sekujur tubuhku beku. Kakak! Ya, dia memanggilku dan entah kenapa, aku tidak bisa menolak panggilannya. Seperti panggilan kematian yang tak seorang pun bisa mengelak.

“Mia,” ucapnya.

Aku pun berbalik menoleh ke arahnya.

“Kamu sudah besar sekarang. Sekarang kamu sudah SMP. Padahal aku baru sebulan tidak bertemu denganmu. Tapi aku sudah begitu rindu. Tak sabar ingin bertemu denganmu. Dan aku sangat berharap kamu mau menceritakan hari-harimu selama sebulan tak bertemu itu padaku,”

Ah, benarkah itu dia? Benarkah orang sebaik dan selembut ini berbuat jahat padaku? Sehingga aku jadi dendam dan membencinya? Bahkan matanya saja sangat menenangkan. Sampai-sampai aku tidak bisa melarikan diri dari tatapan matanya itu.

“Ya, tentu saja kak. Aku akan menceritakannya padamu,”

“Baiklah. Besok kita akan pergi berdua ke tempat yang bagus. Besok kita habiskan waktu berdua,”

Aku hanya bisa mengangguk. Tapi entah dari mana asalnya perasaan ini. Aku senang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...